Langsung ke konten utama

Welcome to Makassar - Episode Bahasaku Bahasamu



Excited, waswas, panik, saat betul-betul menyadari bahwa sebentar lagi kami (saya dan anak-anak) harus pindah ke Makassar menyusul suami untuk menetap disana, entah berapa lama.  Sebagai emak-emak rempong tentu saja pada saat H minus sekian dan H plus sekian, masih saja rempong.  Banyak yang bertanya akan niat saya pindah, belum lagi yang berusaha menggagalkan kepindahan saya dengan black campaignnya hehehe.  

Akhirnya tanggal 9 Januari 2016 saya untuk pertama kalinya dan dengan nekadnya mendarat juga di Makassar.  
Setelah beberapa kali berkeliling, makan di rumah makan, jajan di minimarket, ke tempat londri, dapat saya simpulkan bahwa saya mengalami kesulitan berkomunikasi dengan mas-mas atau mba-mba yang mungkin pendidikannya tidak terlalu tinggi dan logat kedaerahannya sangat kental atau juga dengan orang yang usianya mungkin diatas 60 yaa, karena biasanya yang cukup berpendidikan atau yang usianya relatif sama dengan saya akan langsung menyesuaikan bahasa dan kosa katanya begitu mendengar saya berbicara. 

Kita akan dengan mudah mencirikan mana orang Makassar dan mana yang bukan, seperti saya jika berbicara sudah pasti terdengar “Jawa” (Jawa/Sunda/Jakarta).  Seperti yang terjadi antara saya dan tukang ayam yang kebetulan orang Jawa, alhasil saya selalu diajak ngobrol bahasa Jawa, mungkin masnya girang ada pelanggan yang juga perantau, untung paham sedikit-sedikit sambil saya celetukin: “hadehh mas meuni gandeng pisaaaan” dan simas Cuma ketawa sambil lanjuut ngomong Jawa….yuk deh de ja vu ga sih (buat yang kenal namanya Liarto pasti paham).

Beruntung suami sempat memberikan sedikit bocoran perihal kata “kita” yang berarti “anda” nah kann jauh benerr dah sama bahasa hari-hari di Jakarta, dan saya pun mencari informasi di internet kapan kita menggunakan kata “mi” “ki” dan “ji”…hasilnya? Gak ngerti juga hahaha.
Tapi boleh lah sok iye dikit, pada saat saya sedang belanja di supermarket ada mba-mba menawarkan sample produk susu dan dia bilang, “kita?”, weehh bangga banget saya langsung jawab, “oh ga mba, terimakasih” hihihi norak yaa.  Bayangkan jika belum dapat bocoran bisa berapa kali nembak saya.

Saya sering sekali menjawab satu pertanyaan dengan jawaban tembakan, alias kira-kira karena saya tidak paham pertanyaannya, kalau sekali tembak kena…legaaa. Naah tapi ada nih yang berkali-kali nembak, ga kena-kena, itu sudah usaha tanya ulang lho maksud pertanyaannya apa.
Saya bukannya takut atau malu, tapi suka tidak enak hati jika harus bertanya berkali-kali saking tidak juga paham apa yang dibicarakan orang. Jadi saya sering menghindari untuk berkomunikasi dengan orang yang saya pikir akan membuat tampang saya bloon (padahal kan saya ngga bloon bloon amat :D ).  Saya lebih baik cari aman belanja di minimarket atau supermarket ketimbang di pasar, menghindari beli buah-buahan di pinggir jalan, jika memang kepengen banget yaa saya minta tolong suami saja yang turun.

Pernah mau mencoba londri rumahan di komplek karena selama ini saya mencuci baju di londri yang lumayan professional, dan tibalah saya di rumah londri itu: “assalamu ‘alaykum…” menunggu beberapa detik, keluar ibu-ibu paruh baya berjilbab dan saya kemudian bertanya, “disini bisa londri kiloan bu?” dan respon ibu-ibu itu membuat tampang saya bloon (ooh not again….) karena nada bicaranya yang seperti orang marah dan intonasinya itu bukan intonasi bertanya, saya pikir saya sedang dimarahi, kurang lebih begini kata-kata si ibu tadi (tanda baca sesuai intonasi interpretasi saya ya), “ baju apa!” dan saya, ”????” (tampang ga jelas, otak processing tembakan apa nih enaknya bari mikir lah situ buka londri kok bingung eike mau cuci baju? Ini londri kan?).  Ibu itu berusaha menegaskan lagi, “cuci baju apa, kaos apa sutra..kalau sutra-sutra begitu tidak bisa” kemudian saya bilang, “ooooooh baju yang biasa-biasa bu…iya bukan sutra” dan sambung si ibu, “10 ribu sekilo”, Saya, “iya deh tanya dulu ya bu terimakasih”.  Ngaciiiirrr, padahal cuciannya sudah dibawa, tapi ke ge-er an takut ditanya macam-macam, saya putuskan ke londri yang biasa saja hahaha.

Okeh, lanjut yaa ke kisah berkali-kali nembak tidak kena, ini saya bukannya tidak enak hati tapi ujung-ujungnya emosi jiwa. Jadi begini ceritanya, saya berencana mau service ac dan saya punya brosur service ac professional, tetapi kata suami itu mahal sekali karena kita perlu jasa untuk memindahkan ac dan mesinnya juga ke kamar lain.  Akhirnya suami menemukan informasi jasa service ac, yaa saya pikir sama lah levelnya seperti yang sering kami gunakan di Jakarta.  Akhirnya datang juga si tukang servis ac, mereka berdua. Setelah beberapa menit mereka kerja, saya baru menyadari ternyata mereka sibuk memperbaiki alat, saya sempat protes ke suami karena mereka akhirnya habiskan waktu berjam-berjam untuk memperbaiki alatnya, minta lem lah, cari obeng lah, membuat saya gemas.  Yang lebih gemas lagi, saya harus menghadapi mereka berdua sendirian, karena suami ada panggilan kerja dadakan.  Berjam-jam kerjaan mereka belum selesai, langsung terbayang tokoh Sopo Jarwo donk… yang satu sibuk kerja yang satunya bisa tiba-tiba ada di sudut rumah main ponsel, saya lewat, dia diam saja, tidak merubah posisi berdirinya.  Sebut saja yang main ponsel itu si Sopo dan satu lagi si Jarwo.  Sewaktu meminta lem dan peralatan lainnya, yang berbicara dengan saya itu si Jarwo, saya paham.  Begitu si Sopo masuk, fyi orang ini tanpa ekspresi, ga pake permisi, slanang slonong, dan langsung bilang ke saya: “ ibu..ada errrehh!” (maaf, intonasi tanda baca sesuai interpretasi saya, tidak ada maksud menyinggung bahasa daerah lain).  Saya, “hah? Apa mas?”,  Sopo, “errehh,..”,  Saya, “apa  mas??”,  Sopo, “errr…itu er buat minum” Saya, ”ohh mau minum (heran, soalnya sudah disediakan minum dan sudah dipersilahkan minum tapi dia cuek aja)”, Sopo, ”errehh ada?”, Saya, ”oohhh mau AIR ES??????” (Eureka!!!), Sopo, ”iya..” (muka lempeng).
Duuh kenapa siii bukan si Jarwo aja yang minta air es, kapan ini selesainya  kerjaan si Sopo Jarwo.
Hari sudah sore, suami juga belum kembali, ayo donk cepat pulang nanti keburu diajak ngobrol lagi nih.
Eh ternyata benar saja, si Sopo masuk lagi, ”bu ada lakkkiring??”, Saya, “gimana udah selesai??” (duuh kenapa dia lagi sih yang masuk, jawab nembak lagi aja deh), si Sopo bingung karena pertanyaanya dijawab dengan pertanyaan dan dia mengulangi lagi, “ ada lakkiring?”, saya, ”apa mas??”, Sopo, ”lakkiring..itu lak..”, Saya, “apa sih?” (aduh ayo donk any clue?? Apaaan ituuuu think..think…gue dah ga bisa nembak nih), Sopo,(dengan wajah tanpa ekspresi kekeuh ajaa ngulang omongannya) “lakkkiring..”, Saya : “maksudnya lap kering??????????” (nah ini kayaknya yang masuk akal setelah mencoba nembak hayoo tembakan saya kena ga nih?).

Sopo mengangguk…….

Komentar

  1. Bhahahahah, aseli cekikikan sendiri bacanya. Tapiiiii, emang iya kendala bahasa itu ya yang pasti akan terasa. Ga usah jauh-jauh mikir kalo di luar negeri bakal terkendala bahasa, lha wong di Indonesia sendiri aja kejadian kok. Hihihi..

    Keep the spirit ya Teh, yakin pasti makin lama akan makin bertambah kosakatanya. :D

    Lapyuuuuu.. :*

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayam*, I want that tumbler

Otak ini selalu random memilih topik untuk ditulis, jadi jangan dipertanyakan motivasi tulisan saya kali ini :D (padahal dari judul obvious yak wakwaww) Jika black eye dianggap sebagai kopi sekopi-kopinya alias kopi banget, berarti kalau saya bilang saya ini peminum kopi tapi yang diminum kopi sachetan, piye? Eh tapi ga bangga juga sih jadi peminum kopi, itu kan judulnya pecandu kafein yaa?! Lepas dari nikotin, sekarang menemukan kafein.  Cuma membayangkan kopi saja bisa langsung merubah mood, kalau sehari belum ketemu jadi kangen ga ketulungan. Saya lama-lama jadi takut, apapun itu yang namanya “nyandu” efeknya ga bagus, apalagi ini kopi.  Kalau kecanduan sayur-sayuran sih ok aja lah.  Diluar manfaatnya baik atau tidak untuk tubuh, ini mungkin pikiran saya melayangnya kejauhan ya, saya jadi menyandarkan mood atau hidup kepada sesuatu yang sangat duniawi, walaupun hanya secangkir kopi. Please somebody tell me : it’s fine.. Buat saya kopi adalah minuman...

Haruskah saya bekerja lagi?

Merasa gagal menidurkan si bontot, biarlah dia bermain...dan permainannya menjilat kuas kemudian dia melukis diatas pot..ah sudahlah, bukan ini yang ingin saya bahas. Diskusi via WA hari ini dengan serorang sahabat membuat saya juga kembali bertanya, ada apa gerangan dengan pernikahan saat ini? Terutama mengenai tanggung jawab suami dan istri. Mengapa banyak sekali saya temui perempuan yang seolah tak memiliki pilihan sehingga harus terpaksa bekerja untuk menafkahi keluarga? Apakah suaminya terlalu cengeng? Apakah standar hidupnya tidak mau berubah? Apakah jangan-jangan sebetulnya si istri mencari-cari alasan seolah sulit untuk berhenti bekerja? Oh iya, bekerja yang saya maksud adalah keluar rumah untuk  mencari nafkah dari pagi hingga sore/malam dan meninggalkan pengasuhan anak kepada orang lain. Kadang kita merasa senang sekaligus bersalah disaat kita merasa sedang galau kemudian ada yang curhat dan kita merasa bersyukur dengan nasib kita yang serasa...