Langsung ke konten utama

Haruskah saya bekerja lagi?



Merasa gagal menidurkan si bontot, biarlah dia bermain...dan permainannya menjilat kuas kemudian dia melukis diatas pot..ah sudahlah, bukan ini yang ingin saya bahas.

Diskusi via WA hari ini dengan serorang sahabat membuat saya juga kembali bertanya, ada apa gerangan dengan pernikahan saat ini? Terutama mengenai tanggung jawab suami dan istri.
Mengapa banyak sekali saya temui perempuan yang seolah tak memiliki pilihan sehingga harus terpaksa bekerja untuk menafkahi keluarga?

Apakah suaminya terlalu cengeng?
Apakah standar hidupnya tidak mau berubah?
Apakah jangan-jangan sebetulnya si istri mencari-cari alasan seolah sulit untuk berhenti bekerja?

Oh iya, bekerja yang saya maksud adalah keluar rumah untuk  mencari nafkah dari pagi hingga sore/malam dan meninggalkan pengasuhan anak kepada orang lain.

Kadang kita merasa senang sekaligus bersalah disaat kita merasa sedang galau kemudian ada yang curhat dan kita merasa bersyukur dengan nasib kita yang serasa lebih baik dari orang itu.
Sebetulnya saat ini saya sedang merasa insecure karena hutang masih banyak, saya sudah berhenti bekerja, kemudian gaji suami juga sering terlambat (yah terpaksa bongkar rahasia).  Handphone saya terus-terusan berbunyi, saya yakin dari bank yang mengingatkan keterlambatan iuran saya.  Namun entah kenapa saya merasa amat sangat bersyukur karena beberapa hal ini :
  1. Saya sama sekali tidak tertarik untuk bekerja seperti dulu lagi dan suami juga tetap menjaga saya agar saya tetap di rumah, dan tetap membayar cable TV dan internet :P
  2. Saya memiliki sahabat-sahabat yang selalu meringankan langkah saya, apapun langkah yang saya tempuh, dukungan moril inilah yang selalu menguatkan saya
  3. Saya tipe orang yang "berisik" disaat lelah dan tidak nyaman pasti saya mengeluh dan berteriak, tetapi sebanding dengan rasa nyaman saya melihat anak-anak saya yang dalam kondisi sehat, pendidikannya lancar (termasuk pendidikan agama), dan selain bikin berantakan rumah juga pintar memuji masakan ibunya, kemudian dengan banyaknya tawa karena ulah si bontot yang kadang ajaib
  4. Kondisi orangtua yang dapat menunjang kekurangan saya saat ini
  5. Pernah bekerja dengan bos yang super super baik, dan saya tidak pernah lupa komentar beliau sewaktu saya mengutarakan kemungkinan saya akan mengundurkan diri untuk pertama kalinya, kurang lebih pendapat beliau begini: sebetulnya jika ditanya pendapat beliau pribadi, beliau ingin saya tetap bekerja, tetapi dasar saya mengambil keputusan berhenti adalah untuk kepentingan keluarga, terutama terhadap anak-anak (waktu itu usia 5 dan 2 tahun) dan beliau pun berkata" "Keputusannya sudah benar", hey boss you know who you are

Orang-orang yang melihat saya bekerja almost 24 hour a day (lebay sih yaa kalo 24 jam), kemudian berat badan saya menyusut mungkin sekitar 5 kg, dengan perangkat perang melebihi pasukan ISS (boleh lah sebut merk) tapi belum sedahsyat pak Kas (boleh donk sebut nama), ~kadang saya memang ngotot walaupun bekerja di rumah dengan prinsip perfeksionis yang tidak prioritas~, sudah mendorong-dorong saya untuk back to work padahal cita-cita saya bike to school (mboncengin anak ke sekolahnya yooow).
Ini artinya adalah saya harus membuktikan bahwa saya sehat, aman sejahtera dengan keputusan saya berhenti bekerja, hmm sebetulnya iya tapi jujur, saya makin galak dengan anak-anak.
Saya selalu berjanji hari ini untuk esok tidak treak-treak lagi, untuk lebih cool, asik, cuek, tapi kalau anak sudah mulai berulah rasanya emosi tak terbendung, istighfar deh. Nah keliatannya macam orang depresi kan?

Saya sendiri bingung mau membahas topik ini dari sisi yang mana, karena banyak di otak saya yang mau meledak-ledak keluar.  Mungkin karena sudah pagi ini ya, dan juga karena rasa yang berkecamuk mendengar alasan seorang teman bekerja lagi karena....butuh uang! Saya nih sudah lagi susah sombong pula, kemarin ini saya mengambil pekerjaan justru bukan karena uangnya, karena otak saya hampir beku keseringan digunakan memerintahkan tangan untuk menggerakkan setrikaan, sapu, pel, Suami sempat "protes" melihat saya semangat di depan laptop, kadang ijin ke kantor beberapa jam jika memang harus onsite, begini katanya: "emang kamu dibayar berapa?" Uhuhuh saya ini sensitif apa yana sih, ditanya seperti itu rasanya sangat tidak enak dan kadang cara saya bekerja mungkin aneh dimata orang lain.
Saya melihat di Perusahaan tersebut sedang ada masalah besar yang berpotensi merugikan karyawan, dan ujungnya yaa akan merugikan Perusahaan itu sendiri, so instead of merasa dimanfaatkan oleh Perusahaan itu, saya merasa saya perlu membantu karyawan yang bekerja disitu, mengingat banyak regulasi yang menyimpang dari peraturan yang berlaku but I didn't do it for free, I still got paid.
Sayang nih suami tidak tau kalau saya juga pernah menawarkan jasa gratis hehe.  Sstt jangan bilang-bilang yaa.

Hang in there my friend, dipikirkan baik-baik untuk melangkah, jika masih berat, diskusi lagi dengan suami, seorang ibu itu memang berat jika harus dipisahkan dengan anak walaupun hanya beberapa jam...tapi berat banget jika ketemu 24 jam hahaha maksudnya gendongnya berat, harus full service pula kadang baru naro bujur sebentar, "Bu, kayaknya aku mau minum teh manis anget...", "Bu, ga bikin cream soup nya sekarang aja?", " Bu....."

Masalahku mungkin tidak sama dengan masalahmu, namun tidak ada salahnya dengarkan lirik ini: sudah tinggalkan saja semua persoalan waktu kita sejenak 'tuk membebaskan pikiran...(oh my God I cannot believe I'm doing this), dan tataplah wajah anak-anak kita, smile and istirahat dulu...



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Welcome to Makassar - Episode Bahasaku Bahasamu

Excited , waswas, panik, saat betul-betul menyadari bahwa sebentar lagi kami (saya dan anak-anak) harus pindah ke Makassar menyusul suami untuk menetap disana, entah berapa lama.  Sebagai emak-emak rempong tentu saja pada saat H minus sekian dan H plus sekian, masih saja rempong.  Banyak yang bertanya akan niat saya pindah, belum lagi yang berusaha menggagalkan kepindahan saya dengan black campaign nya hehehe.   Akhirnya tanggal 9 Januari 2016 saya untuk pertama kalinya dan dengan nekadnya mendarat juga di Makassar.   Setelah beberapa kali berkeliling, makan di rumah makan, jajan di minimarket, ke tempat londri, dapat saya simpulkan bahwa saya mengalami kesulitan berkomunikasi dengan mas-mas atau mba-mba yang mungkin pendidikannya tidak terlalu tinggi dan logat kedaerahannya sangat kental atau juga dengan orang yang usianya mungkin diatas 60 yaa, karena biasanya yang cukup berpendidikan atau yang usianya relatif sama dengan saya akan langsung m...

Ayam*, I want that tumbler

Otak ini selalu random memilih topik untuk ditulis, jadi jangan dipertanyakan motivasi tulisan saya kali ini :D (padahal dari judul obvious yak wakwaww) Jika black eye dianggap sebagai kopi sekopi-kopinya alias kopi banget, berarti kalau saya bilang saya ini peminum kopi tapi yang diminum kopi sachetan, piye? Eh tapi ga bangga juga sih jadi peminum kopi, itu kan judulnya pecandu kafein yaa?! Lepas dari nikotin, sekarang menemukan kafein.  Cuma membayangkan kopi saja bisa langsung merubah mood, kalau sehari belum ketemu jadi kangen ga ketulungan. Saya lama-lama jadi takut, apapun itu yang namanya “nyandu” efeknya ga bagus, apalagi ini kopi.  Kalau kecanduan sayur-sayuran sih ok aja lah.  Diluar manfaatnya baik atau tidak untuk tubuh, ini mungkin pikiran saya melayangnya kejauhan ya, saya jadi menyandarkan mood atau hidup kepada sesuatu yang sangat duniawi, walaupun hanya secangkir kopi. Please somebody tell me : it’s fine.. Buat saya kopi adalah minuman...